ALPHATERRANIA (SUDAH SAATNYA #1)


Ąlphaterrania
Sudah saatnya kau tahu nak.


Aku bersama Trheisya berada disuatu tempat yang sangat sunyi. Gurun pasir, ini adalah gurun pasir yang sangat luas langitnya sama dengan alam yang kami datangi sore tadi. Kami saling berhadapan, mata Threisya berwarna biru lagi, persis dengan bulan mengambang diatas kami, wajah Trheisya menyiratkan kesedihan, kesedihan yang sangat dalam, aku tidak tahu harus berkata apa “Ada apa? Mengapa kau terlihat sedih?.” Hanya itu yang bisa kuucapkan.Threisya tetap diam, tiba-tiba dia meneteskan air mata yang berkilau seperti berlian, aku memeluknya dengan sangat erat, ku berikan bahu ini untuk menopang kesedihan yang dia alami, apapun itu, seberat apapun itu, meskipun aku tidak tahu apa yang terjadi. 

aku terbangun, terbangun dengan mimpi yang terputus, aku terbangun sangat pagi, terlalu pagi untuk sekolah. Aku berusaha melupakan mimpiku, tetapi wajah sedih Trheisya tetap terbayang dipikiranku.

Aku menyadari beberapa keanehan yang terjadi semalam, Ayahku tidak berkomentar apapun tentang keterlambatanku, aku merasa sudah cukup lama dialam yang tidak aku kenal bersama Threisya. Setidaknya Ayahku menanyakannya, tetapi dia tidak menanyakan apapun. Aku memikirkan kedua hal itu, Threisya dan Ayahku, aku teringat saat aku melihat jam dinding meski hanya sekilas saat aku sampai dirumah semalam, jam dinding itu menunjukan jam 5.45, tunggu, aku keluar sekolah dengan Threisya sekitar jam 5.30, aku perlu waktu 10 menit untuk sampai kerumah, berarti hanya 5 menit kami berada dalam alam itu? Aku merasa sudah setengah jam berada dialam itu. Sudahlah mungkin aku yang sedang ditinggalkan oleh pikiranku sendiri.

Lebih baik aku mandi sudah saatnya untuk sekolah, sudah terlalu lama aku berbaring ditampat tidurku. Setelah aku selesai bersiap kesekolah aku sarapan terlebih dahulu dengan Ayahku, Ayahku sangat hebat membuat nasi goreng, rasanya tidak seperti nasi goreng yang aku beli diluar, Ayahku menambahkan sedikit rempah-rempah agar membuat tubuh terasa hangat disaat pagi yang dingin. “Ayah mendapat resep ini dari mana?.” Aku bertanya lalu melahap satu sendok nasi gorengku lagi.

“Ibumu yang mengajarkan Ayah, mungkin jika Ibumu masih ada kau akan lebih menyukai masakannya.” Ayahku tersenyum sambil menjawab pertanyaanku.
Ya ibuku telah lama meninggalkan kami berdua, dia mengorbankan dirinya untuk melahirkanku kedunia, Ayahku pernah bercerita tentangnya, dia sangat manis dan ramah, tetapi dia sangat galak juga kata Ayah, Ayah sangat mencintainya, buktinya dia tidak pernah mencari Ibu baru untuku, bahkan membicarakannya saja tidak pernah. Aku menoleh keruang tamu, melihat foto Ibu dan Ayahku, disebuah sofa besar ibuku duduk dengan menyilangkan kakinya dan menaruh duatangannya diatas pahanya, memakai gaun berwarna putih panjang dengan pernak-pernik berwarna biru dibagian dadanya, sangat indah, ibu benar-benar terlihat cantik dengan semua itu, rambutnya yang sedikit berombak dan sedikit berwarna kecoklatan sangat kontras dengan kontras dengan kulitnya yang berwarna putih cerah dan halus. Sedangkan Ayahku berdiri dibelakang sofa tangannya berada dibahu sebelah kanan Ibuku Ayahku berambut panjang difoto itu, dikuncir kebelakang, apa Ayahku Seorang Vocalist band? Tubuhnya lumayan kekar dibalut jas berwarna hitam, kulitnya tidak seputih Ibuku, kulitnya cukup gelap, alisnya tebal matanya dalam, mungkin jika Ayah marah akan sangat seram, tetapi dia tidak pernah marah denganku, karena aku anak yang baik, mungkin. Sekarang rambut Ayahku sudah dicukur pendek mungkin gaya cepak atau apa, aku tidak mengerti tentang hal itu, ayah malah lebih gagah dari yang dulu, ayah bekerja disebuah pertanian buah, dia berada dibagian pemupukan, dia juga meneliti sayur-sayuran yang sudah dia pupuki, intinya gaji perbulannya cukup untuk menghidupi keluarga kecil yang hangat ini, bahkan dia membeli mobil Pick-Up untuk mengangkut buah-buahan dan syur-sayuran.

Setelah sarapan kami siap untuk berangkat menuju kegiatan masing-masing, biasanya Ayah mengantarku sekolah, tetapi kali ini tidak, aku ingin melihat lubang hologram semalam, apakah masih ada disitu, jika masih ada, mungkin sudah heboh menggentarkan seluruh desa ini. “Ayah aku ingin berjalan kaku pagi ini.” Pintaku agar Ayah tidak mengantarku pagi ini

“Baiklah, tapi kenapa?.” Ayahku menyiratkan rasa penasaran diwajahnya.

“Entahlah.” Aku hanya menjawab itu, sambil tersenyum.

Ayahku berangkat mengendarai mobil Pick-Upnya, Ayahku sedikit gila saat mengendari mobil itu, aku sering dibawa ngebut olehnya, sering kali bannya bocor karena tidak kuat oleh kelakuan ayahku, mungkin jika mobil itu hidup, dia sudah kabur dari rumahku. Aku berjalan santai sambil menghirup udara segar, mendengar kicauan burung yang terasa sangat indah, pepohonan tinggi ada disamping jalan berbaris rapih, bahkan murid-murid sekolahku tidak serapih pepohonan itu saat berbaris untuk upacara bendera yang dilaksanakan setiap hari senin, mungkin ditahun 2007 ini tidak banyak generasiku yang tahu apa artinya menghormati bendera negara sendiri. Aku sampai ditempat keberadaan lubang hologram semalam, tetapi lubang hologram itu tidak ada, aku sedikit lega melihatnya, berarti hanya aku dan Trheisya yang tau tentang ini, aku memperhatikan sekelilingku, dan aku merasakan ada yang memperhatikanku, sekali lagi aku memperhatikan sekelilingku, tidak ada apa-apa, tidak ada seorangpun, hanya pepohonan dan semak belukar. Aku sedikit ketakutan, aku berjalan cepat menuju sekolah, meninggalkan rasa penasaran akan rasa ini dan untuk menghilangkan rasa takut ini.

Disaat Ąlpha meninggalkan tempat itu.
“Apa dia sudah siap untuk semua ini?” seseorang bertubuh besar dan kekar bertanya kepada temannya.
“dia baru 16 tahun, mungkin kita bisa mengajarkannya terlebih dahulu” jawab teman satunya yang tidak jauh berbeda dengan temannya itu.

Sesampainya aku disekolah, ternyata aku tidak telat dijam pertama, murid-murid masih berkeliaran diluar sekolah. Threisya sudah ada dibangkunya dia menumpukan dagunya ditangnya dia seperti kebosanan, wajahnya sangat imut dengan pose itu. Trheisya melemparkan senyuman untukku saat dia sadar akan kedatanganku, tetapi tetap dengan posisinya itu. Aku menghampirinya yang sekaligus duduk dibangku-ku  kami satu meja, masih satu meja yang membuatku merasa bahagia. “Apa kepalamu terlalu berat untuk diangkat?.” Sedikit guyonan untuk mengawali hari indah ini.

“Tidak.” Sambil tertawa kecil dia menjawabnya lalu menegakan tubuhnya dan merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan.

“kau seperti bosan?.” Aku bertanya dengan nada yang cukup nyaman untukku berkata.

“Pagi tadi aku ketempat lubang alam itu, tetapi aku tidak menemukan lubang itu.” Dia berbisik saat mengatak itu.

“Aku juga, malah aku merasa ada yang sedang memperhatikanku.” Aku menjawabnya sambil berbisik pula.

“Apa kau mau ketempat itu lagi sepulang sekolah nanti?.” Sepertinya dia bertanya sambil merayuku.

“Mungkin.” Aku menjawabnya lalu tersenyum semanis mungkin.

“Sepertinya Sỳaina memperhatikan kita.” Dia melirikkan matanya kearah Sỳaina sambil berkata itu.

“Benar.” Aku tidak melihat kearah Sỳaina karena aku sudah tau dia sedang memperhatikan aku dan Trheisya.


Bel pelajaran pertama sudah dimulai, Fisika hari rabu ini diawali dengan rumus-rumus tenatang kejadian-kejadian dibumi ini yang dirumuskan, apakah Fisika bisa merumuskan lubang hologram yang menuju kealam yang tidak dikenal itu? Guru gemuk yang sering dipanggil Pak Anwar. Pak Anwar masuk dan ada seseorang dibelakangnya, ternyata murid baru lagi. Lelaki baru ini sangat tampan sepertinya dia keturunan bule, rambutnya sedikit pirang, dia tinggi lebih tinggi dariku sepertinya, sangat kontras melihat Pak Anwar dengannya, wajahnya tirus, matanya berwarna kecokelatan, tubuhnya terlalu besar untuk ditahun ini, mungkin seharusnya dia sudah lulus, rambutnya sedikit panjang, tidak rapi sedikit keriting dibelah pinggir, sepertinya aku tenggelam diair liur wanti-wanita dikelas ini, itu hanya gurawan.

“Anak-anak! dia adalah murid baru disekolah ini, perkenalkan dirimu nak!.” Pak anwar menyuruhnya memperkenalkan dirinya.

“Saya Hęndelm Stįeffer.” Dia sama sekali tidak gerogi saat memenyebut nama anehnya itu. “Kalia bisa panggil Stįeff.” Tambahnya dengan nada sopan. Sehabis diamemperkenalkan diri dia tersenyum kearah Trheisya. Lalu dia duduk disebelah Sỳaina yang kebetulan tempat disebelahnya kosong, sepertinya Sỳaina sangat senang dengan murid baru itu.

“Spertinya akan ada yang menendangku dari sini.” Aku berbicara sambil merebahkan kepalaku dimeja dengan tangan menumpu wajahku.

“Kenapa kau ini Ąlpha, dia hanya bule yang tersesat.” Dia sepertinya dia sedang berguyon, aku tidak menyadarinya karena aku sedang berkutat dengan pikiranku.

Ada 4 orang bernama aneh dikelas ini Ąltaff Upp Ąlpha, Trheisya Vindứrri, Sỳaina Dhęlliga, dan Hęndelm Stįeffer, dibatu yang ada dialam yang tidak kukenal yang bisa membuka lubang hologram adalah sepasang manusia, tetapi mungkin bukan manusia sembarangan, aku memiliki nama aneh dan Trheisya juga, dan kami membuka lubang hologram itu, apa Stįeff dan Sỳaina bisa membukanya juga? Ada apa dengan ini semua, aku merasa asing dengan kehidupanku sendiri.

Beberapa mata pelajaran telah terlewati dengan mulus. bel istirahat berbunyi, Stįeff dan Sỳaina menghampiriku.

Stįeff menjabat tangan Trheisya dengan halus, mengajaknya berkenalan, dengan senyuman yang manis. Aaaah... ayolah apa kau harus merebut wanita yang baru kukenal dan sangat kusuka ini? Stįeff tidak melupakanku, dia juga tidak lama menjabat tangan Trheisya, Trheisya hanya menyebutkan namanya lalu memandangku. Stįeff menjabat tanganku dengankuat dan tersenyum riang, dia sepertinya tidak ingin merebut Trheisya, buktinya senyumannya lebih Friendly saat berjabat tangan denganku

“Apa kau Ąlpha?.” Sambil tersenyum dia bertanya.

“Benar. Apa Sỳaina yang memberitahumu?.” Aku balas senyumannya dengan ramah.

“Tidak dia bertanya padaku tadi saat pelajaran sebelum istirahat, dia sudah tau namamu sepertinya.” Sỳaina menjawab pertanyaan yang bukan untuknya. aku tidak membenci Sỳaina, hanya saja aku tidak suka dengan sikapnya yang sok tahu itu.

“Kakakku yang memberitahukan namamu, katanya aku harus berteman denganmu, aku tidak tahu apa alasannya.” Stįeff melengkapi kerancuan penjelasan Sỳaina.

“Sebaiknya kita kekantin untuk makan. Bukankah kau ingin makan Ąl.” Trheisya mengajakku dan yang lain dan tersenyum kearahku. Sepertinya dia menaruh perhatian kepadaku, dugaanku membuatku bahagia sendiri.

“Baiklah kita kekantin sekarang.” Aku mengiyakan ajakan Trheisya dan membalas senyumannya.

Kami berempat berjalan kekantin, dan para wanita sekolah ini banyak yang melirik kearah Stįeff, mungkin dia akan menjadi cowok populer disekolah ini, atau menjadi misteri karna aku akan membunuhnya dan mencabik mayatnya menjadi kecil-kecil untuk menghilangkan jejak, tidak itu hanya gurawanku. Aku tidak terganggu sama sekali dengan kepopuleran Stįeff, karena Trheisya yang sedang tersenyum kearahku, membuatku melupakan semua itu, seperti hanya ada dia disini.

Sepertinya Sỳaina sudah melupakan perasaannya terhadapku, dia lebih sering memandangi Stįeff, tidak menyiratkan kekesalan saat melihat aku dan Trheisya saling memandang dan tersenyum. Sepertinya aku tidak perlu menyatakan cinta kepada Trheisya, aku hanya ingin merasakannya, mengalir tanpa kata-kata terungkap secara kalbu, dari hati ke hati, tanpa suara hanya rasa, mungkin itu lebih baik, dan aku harap dia membuka pintu hatinya untukku. Tiba-tiba aku teringat mimpiku semalam, aku teringat wajah Trheisya yang bersedih, seperti tersiksa, pandanganku yang tadi penuh kebahagiaan berubah menjadi kepedihan “Ada apa?.” Trheisya bertanya dan menyiratkan kepedihan juga dari wajahnya, dia selalu seperti bisa merasakan apa yang aku rasakan.

“Aku ingin cerita nanti, pulang sekolah mungkin, apa kau mau mendengarkannya?.” Aku bertanya dengan nada yang cukup sedih.

“Kenapa kau bertanya seperti itu, aku akan selalu mendengarkanmu.” Mendengarkannya berkata seperti itu membuat hatiku tenang, dan dia puntersenyum. Stįeff dan Sỳaina menoleh kebelakang kearahku dan Trheisya, Trheisya menundukan kepalanya, sepertinya dia malu, kami berempat berhenti tiba-tiba “sepertinya ada monyet yang sedang jatuh cinta.” Mungkin kata-kata Stįeff  kasar tapi entah kenapa terdengar sangat lucu membuat dua wanita ini tertawa.

“Oke bule tersesesat kau cukup lucu.” Aku langsung memberantakan rambutnya yang cukup panjang itu, kamipun saling bercanda, tidak butuh waktu lama untuk akrab dengannya.

Kami membeli bakso yang ada dikantin, Stįeff membeli dua mangkuk karena bakso pertamanya kuberi banyak sekali sambal dan cuka sehingga dia kepedasan dia tidak marah sedikitpun dia malah tertawa-tawa, senang rasanya memiliki teman seperti dia. Kami banyak berbincang tentang diri kami untuk lebih mengakrabkan diri, Stįeff tinggal bersama kakaknya Ayah dan Ibunya tinggal diluar negri, dia pindah atas permintaan kakaknya, Ayah dan Ibunya setuju begitu saja katanya, tidak ada rasa keberatan. Dan kakaknya sering bercerita tentang sesuatu yang aneh tentang negri yang diserang oleh Alien dan banyak lagi, Stįeff tidak terlalu percaya dengan hal itu, tapi aku malah memikirkannya apa itu alam yang aku datangi dengan Trheisya?

Bel berbunyi, saatnya kami masuk kelas. Saat menuju kekelas aku berbisik pada Trheisya “Apa kita akan membawa mereka ketempat itu?”

“Apa kau yakin dengan itu? Apa mereka tidak akan membocorkan rahasia kita tentang alam itu?.” Trheisya menjawab dengan berbisik juga.

Pelajaran-pelajaran setelah istirahat terasa sangat cepat, dan bagusnya hari ini memang pulang lebih cepat, jam 3.30 bel pulang sekolah berbunyi. Stįeff dan Sỳaina menghampiriku “Apa rencana kalian sekarang?.” Stįeff bertanya

“Kami ingin ketaman dekat sekolah.” Dia menjawab sebelum aku menjawab pertanyaan itu.
“Apa kami boleh ikut?.” Stįeff bertanya lagi. Dan Sỳaina tersenyum malu karena kata-katanya berarti mengajaknya juga.

Aku memandang kearah Trheisya dan Trheisya mengangguk sambil tersenyum, terlihat manis dan menyejukan hati “Baiklah.” Aku mengijinkan mereka ikut.

Kami berempat menuju taman yang tidak jauh dari sekolah dan tidak jauh pula dari lubang hologram. Sesampainya ditaman kami berempat berkumpul disebuah air mancur bulat yang memang sering untuk orang-orang berkumpul. “Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?.” Tanya Stįeff.

“Melemparmu kekolam itu!.” Aku melemparkan lelucon untuk Stįeff.

“Aku yang akan melemparmu lebih dulu.” Kami saling mendorong seperti berkelahi tetapi dengan tawa riang

Stįeff tiba-tiba berhenti ”Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu, tapi sebenarnya Kakakku yang menyuruh.” Tiba-tiba Stįeff sangat serius sehingga membuat keheningan sejenak

“Baiklah, apa itu?.” Aku pun menjadi serius.

“Kakakku berkata kau dan Trhiesya adalah pasangan spesial. Apa kau tahu maksud dari Kakakku itu?.” Dia serius akan setiap kata-katanya agar aku berkata jujur.

Aku dan Trheisya saling menatap, seperti berdiskusi dangan tatapan, bukan dengan kata-kata. Trheisya mengangguk dan itu berarti dia setuju untuk memberitahukan tentang lubang hologram dan alam itu.

“Baiklah, tapi kuharap kau dapat mengunci mulutmu kuat-kuat.” Aku sangat serius dengan perkataanku.

“Kau bisa mempercayaiku. Sỳaina apa kau juga akan mengunci mulutmu?.” Sepertinya Stįeff tau bahwa Sỳaina bermulut lepas.

“Aku akan mgunci mulutku rapat-rapat.” Sepertinya Sỳaina sangat yakin dengan kata-katanya.

“Ayo kita jalan, disini bukan tempatnya untuk menjelaskan semuanya.” Orang-orang disekitar kami mulai memperhatikan kami sejak kami bertindak serius, bahkan ada beberapa remaja yang berbisik sambil memandangi kami.

Kamipun meninggalkan taman, menuju tempat lubang hologram yang kemarin terbuka, tidak jauh dari jalan besar dan tempatnya cukup tersembunyi. Kami telah sampai, aku dan Trheisya didepan Stįeff dan Sỳaina “Kalian harus mengunci mulut kalian, aku tekankan sekali lagi, karena aku takut tempat ini akan terusik, jika banyak orang yang tahu.” Aku benar-benar serius dengan kata-kataku.

“Kami siap mengunci mulut kami, bahkan jika perlu aku tidak akan berbicara tentang hal yang akan kau tunjukan kepada dirimu, walau kau yang memberitahuku.” Stįeff benar-benar dapat dipercaya, sepertinya.

Aku dan Trheisya saling berpegangan tangan, sangat kuat, Trheisya sempat tersenyum kepadaku. Lubang hologram itu muncul tepat didepan kami, kemunculannya sama seperti yang pertama, berawal dari warna-warna yang saling bergerak, lalu perlahan membuat sebuah visual hutan indah. Stįeff hanya dapat berdiri, tidak dapat berbicara sepertinya dia benar-benar terkejut akan apa yang ada dihadapannya. Lubang hologramnya sudah menjadi utuh, dan sepertinya sudah aman untuk masuk. Trheisya mengangkat kakinya untuk masuk tapi aku menariknya “Tunggu sebentar.” Diapun berhenti lalu memandangku

“Ada apa?.” Wajahnya menyiratkan rasa penasarannya.

“Apa aku boleh meminjam jam tanganmu.” Aku menunjuk jam tangan berwarna perak ditangan kirinya, jam itu benar-benar menghiasi tangannya.

“Tentu saja.” Dia tersenyum lalu melepaskan jam tangannya dan memberikannya kepadaku.

Aku membuka tasku dan mengambil jam weker yang telah aku siapkan. Tiga orang ini tertawa kegelian karena aku membawa jam weker yang cukup besar ini, memangnya apa yang salah dengan jam ini “Mengapa kau membawa jam weker? Apa kau ingin tidur disana?.” Trheisya bertanya sambil cekikikkan.

“Nanti kau akan tahu apa gunanya ini.” Aku sedikit tersenyum lalu serius. Aku menyamakan menit jam wekerku dan jam tangan Trheisya, setelah sama menit dan jamnya aku langsung mengembalikan jam tangan Trheisya “Jangan kau utak-atik menitnya oke.” Kataku lalu mengedipka sebelah mataku. Trheisya hanya mengangguk lalu aku menaruh jam tanganku dibawah pohon disampingku, aku tutupi dengan daun besar agar tidak ada yang mengambilnya.

“Ayo kita masuk, hey Stįeff  jangan hanya mengangan. Sadarlah! Ini kenyataan, daan ini kesepesialan aku dan Trheisya.” Aku ingin melunturkan suasana yang tegang ini.

“Apa ini aman?.” Stįeff bertanya.

“Sepertinya.” Trheisya sedikit menggoda ketakutan Stįeff.

“Aku tidak akan takut. aku tidak akan takut. aku tidak akan takut.” Stįeff meyakin dirinya, mengucapka afirmasi kepada alam bawah sadarnya, lalu menarik nafas dalam-dalam lalu menerobos masuk, dan sedikit menabrak bahuku “Tunggu dulu Stįeff!.” Aku menuyuruhnya. Seketika dia jatuh karena tersandung oleh ranting besar, wajahnya menabrak lumpur basah, sehingga membuat kami tertawa “Ada ranting besar disitu.” Sambil tertawa aku mengingatkannya walau sudah telat.

Dia membalikan wajahnya yang bermandikan lumpur “Telat.” Dia berkata itu dan kamipun semakin menggila untuk mengeluarkan tawa kami.

“Ayolah kita cari sungai Stįeff, aku tidak ingin ketampananku tersaingi oleh wajahmu yang sekarang.” Aku meledeknya.

“Sial kau, tertawa diatas penderitaanku. Aaaw...” Dia meringis karena lumpurnya mengenai bola matanya.

Aku Trheisya dan Sỳaina memasuki lubang hologram lalu aku membantu Stįeff berdiri. Kami mencari sungai kesana-sini sambil mengingat jalan “Hey apa kalian mendengar percikan suara air?.” Sỳaina bertanya sambil memperhatikan sekelilingnya.

“Tidak...” aku menjawab sambil memperhatikan sekeliling. Trheisya hanya menggelengkan kepalanya dan itu terlihat sangat imut sekali, dia benar-benar wanita yang spesial untuk.

“Dari arah mana kau mendengarnya?.” Stįeff bertanya.

“Sepertinya arah sana.” Sỳaina menunjuk kearah kanan kami.

Kamipun berjalan kearah yang ditunjuk Syaina. “Suaranya semakin jelas.” Sỳaina yakin akan kata-katanya.

            “Aku bisa mendengarnya sekarang.” Aku sedikit berteriak lalu berlari kearah suara gemercik air itu. Benar, ada sebuah air terjun yang tingginya sekitar 3 meter, dan dihiasi bebatuan yang berlumut, lumut-lumut itu berwarna-warni tetapi tidak terlalu jelas. aku menghampiri air tejun itu dan aku terkejut akan apa yang ada didasarnya, sungai ini tidak dalam mungkin hanya selutut kaki, dasarnya berhiaskan lumut berwarna-warni, lumut-lumut itu dominan berwarna ungu dan hijau, ada juga yang berwarna keemasan, lumut-lumut itu bergerak mengikuti aliran air, airnya sangat jernih, suara gemercik airnya sangat menenangkan dan suara-suara hewan disini semakin membuat dalam ketenangan ini. Air terjun ini dikelilingi pohon-pohon besar yang daunya berwarna pink seperti sakura, aku mengambil satu daun untuk kulihat, ditengah daunnya berwarna silver, daun ini sangat indah, lebih indah dari pohon sakura, pantas saja pepohonan ini seperti berkilauan saat diterpa sinar matahari.

            Trheisya, Stįeff, dan Sỳaina menyusulku, mereka terbuai oleh keindahan air terjun ini, sungai ini dan pohon-pohon besar disekitarnya. Tidak lama kemudian Stįeff segera membersihkan dirinya dipinggir sungai “Segar sekali.” Teriak Stįeff. Akupun segera membasuh wajahku, benar kata Stįeff airnya sangat segar, dengan seketika rasa lelahku menghilang. Trheisya berjalan kearah kanan kami, menjauhi kami lalu dia melepas sepatunya dan duduk disebuah batu dipinggir sungai yang sedikit rata, dia merendamkan kakinya, sepertinya dia merasa sangat nyaman. Aku dan Stįeff melepas sepatu lalu berjalan ketengah sungai, saat aku dan Stįeff asik bermain air aku mendengar jeritan Trheisya, aku tersentak kaget akan teriakan itu, seketika aku berlali kearah Trheisya tetapi aku terjatuh karena tersandung batu didasar sungai, kakiku berdarah, tetapi aku tetap bangkit lalu bergegas lari kearah Trheisya, Stįeff mengikutiku dari belakang, Sỳaina sudah berada didekat Trheisya, Trheisya terus menjerit kesakitan dan membuat aku panik, sesampainya ditempat Trheisya aku dan Stįeff membopongnya kepinggir lalu merebahkan tubuhnya, dia menggeliat kesakita, aku melihat ada sebua luka dikakinya sangat kecil tetapi darah yang keluar cukup banyak, Sỳaina berteriak meminta tolong “Tolooong... Seseorang tolong kamiii...” teriaknya, kupikir itu tidak berguna. Luka dibetis kaki kanan Trheisya mulai membiru, keringat dari keningnya mulai bercucuran, Trheisya menangis kesakitan, tangan kirinya kugegenggam sangat kuat, aku panik tidak tahu apa yang harus kukatakan.


            ”Spertinya dia disengat serangga beracun.” Stįeff berbicara panik.

Seketika aku mencondongkan kepalaku kearah kaki kanan Trheisya, kubuka mulutku tanpa ragu, tanpa berpikir panjang, yang aku pikirkan hanylah Trheisya, hanya keselamatannya. Aku menghisap racun yang ada dilukanya, racunnya bercampur dengan darah Trheisya, terasa sangat pahit dan panas dilidahku, sepertinya isi perutku mulai melonjak keatas, seperti ingin keluar dari perutku, tapi aku menahannya, aku tetap menghisap racun itu, beberapa tetes racun mungkin tertelan, aku merasa semakin mual kepalaku berputar, pikiranku semakin menjorok kehal negatif, aku berpikir Trheisya akan tewas ditempat ini, aku menangis memikirkannya tapi aku menguatkan hisapanku semakin kuat, semakin kuat, laluh meludahkan racun yang ada dimulutku, beberapa tetes masuk lagi kedalam tenggorokanku, mualku semakin parah, tubuhku seperti meleleh, aku tidak tahu apa yang terjadi, seketika aku tumbang jatuh tanpa daya ketanah, Sỳaina berteriak semakin kencan “Toloooong...” teriaknya sampai suaranya serak dia menangis airmatany keluar sangat banyak,   aku berpikir jika aku dapat menggantikan posisiku dengan Trheisya, sebaiknya aku yang mati, sebaiknya aku yang tersengat binatang sialan itu.


            Tak berapalama kemudian aku mendengar suara jejak kaki yang menghantam tanah, sangat banyak, aku melihat enam orang berlari kearah kami “Ada apa?. Apa yang terjadi?.” Teriak salah satu dari orang itu, dia yang paling tinggi, mereka berenam memakai jaket hitam besar dan sepatu boots besar empat orang membawa panah modern ditangan kanan mereka dan dua orang membawa pedang yang disarungkan menyangkut dipinggangnya. Mereka menghampiri kami, lalu salah satu yang bertanya tadi mengulang pertanyaannya “Ada apa?. Apa yang terjadi?.” Tanyanya

            “Sepertinya seekor binatang menggigitnya.” Sambil menunjuk kearah luka Trheisya.

            “Lalu yang satunya?.” Orang itu kembali bertanya.

            “Dia mencoba menghisap racunnya, lalu entah mengapa dia terkulai lemah.” Stįeff menjawab dengan tergesah-gesah.

            “Apa Trender yang menyengatnya?.” Seseorang berjaket hitam bertubuh besar dan membawa pedang bertany kepada orang yang bertanya keStįeff

            “Mungkin. Ayo kita bawa dia keLab, dia harus cepat ditolong.” Orang itu menjawab pertanyaan temannya lalu bergegas membopong Trheisya, Dan satunya lagi membopongku.

            Apa yang terjadi disini? Apa yang membuat Trheisya seperti ini? Ada apa dengan tubuhku yang tidak bisa kugerakan? Ada apa dengan pikiranku yang semakin lama semakin memikirkan hal buruk?  Siapa mereka? Kenapa mereka bisa disini? Sebenarnya tempat apa ini? Apa aku dan Trheisya akan mati disini?.





0 komentar:

Posting Komentar

 

Populer Post