ALPHATERRANIA (KENYATAAN #3)






Ąlphaterrania
Sudah saatnya kau tahu nak.

Ąltaff Upp Ąlpha

(Dunia)


“Wuuusshhh...” Angin menghembuskan dedaunan kering ditanah, membelai dedaunan hijau yang masih tergantung dipepohonan besar, awan hitam menggumpal, bergulung-gulung merangkak perlahan, mengelamkan sebagian desa ini, menenggelamkan cahaya dalam kegelapan, seakan awan gelap itu sedang menelan langit cerah dengan mulutnya yang menganga lebar—entah mengapa tubuhku terkulai lemas ditanah, butuh waktu beberapa detik untukku menyadari bahwa aku telah membuka mata, aku mengerahkan tenaga untuk berdiri, tetapi aku malah terpental jauh, lalu menabrak pohon besar dibelakangku “Aaaaarrgh...” aku berteriak bukan karena rasa sakit, tapi karena terkejut “Ada apa denganku?.” Aku menggumam sendiri.



“Apa aku sedang bermimpi?.” Aku bertanya kepada diriku sendiri, lalu melayangkan pukulan kewajahku sendiri “kreeek...” suara itu terdengar dari rahangku dan sekali lagi aku terpental jauh lalu tersungkur ketanah, rahangku sepertinya patah aku merasakan sakitnya, tetapi aku tidak bisa berteriak, berarti aku tidak sedang bermimpi—entah mengapa aku merasakan ada sesatu yang bergerak dirahangku, aku meraba-raba rahangku, benar! ada yang bergerak, kulit-kulitku bergerak menggelumbung-gelembung, rasa sakitnya perlahan hilang “mengapa rahang yang patah bisa sembuh secepat ini?.” Aku bergumam sendiri—tetesan air mulai berjatuhan dari langit, gemuruh guntur yang menggelegar mulai berteriak, kilat-kilat saling menjilat langit yang ditutupi awan hitam yang kelam, petir menghantam tanah dengan kuat, membuatku merasa takut “Sepertinya aku harus cepat pulang.” Kenapa aku jadi sering bergumam?

.
Aku mencoba untuk berlari sekuat mungkin, tetapi apa yang terjadi? Untuk ketiga kalinya aku menabrak pohon dan pohon yang cukup besar itupun tumbang, suaranya cukup keras—aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan diriku, kenapa aku mempunyai kekuatan superti ini? Aku hanya manusia biasa, aku hanyalah Ąlpha, bocah ingusan, kurus yang tidak memiliki banyak teman. beberapa kali aku terjatuh dan menabrak pohon saat perjalanan pulang.


 Mobil ayah terparkir didepan rumah, sepertinya dia sudah pulang. secara perlahan aku mengetuk pintu, benar-benar sangat pelan, tetapi pintu rumahku terbuka saat aku melayangkan ketukan pertama. “Tidak terkunci.” Aku bergumam “Ayah... aku pulang.” Tidak ada yang menjawab, hanya bisikan angin dan kesunyian yang terdengar. Aku melepaskan sepatu Converse hitamku yang berlumuran lumpur “Are you kidding me?.” Aku menggumam saat melihat jari-jariku keluar dari sepatuku, sepatu Converse kiriku menganga lebar, sobek dibagian ujungnya. “Are you fuckin’ kidding me?.” Aku sedikit berteriak saat mengatakannya, saat aku melihat sepatu kananku yang alasnya terlepas, “Kenapa aku tidak menyadarinya?.” Aku menggumam sambil menggerak-gerakan jari-jari kakiku lalu melepaskansepatu itu dari kakiku, lalu beranjak kekamar mandi. Kenapa ayah tidak ada dirumah? Mungkin dia sedang ada dirumah tetangga untuk menonton pertandingan sepak bola. Aku tidak terlalu suka dengan sepak bola, maksudku pemain sepak bola memiliki honor yang cukup besar untuk membeli bolanya sendiri lalu mengapa mereka memperebutkan satu bola? Tidak itu hanya lelucon saja dan kuharap kau tersenyum dengan itu.


Aku membuka pintu kamar mandi, tapi aku malah mematahkan pegangan pintunya, aku lupa akan kekuatanku, aku belum terbiasa dengan ini, aku malah belum sepenuhnya sadar dengan kekuatanku ini. Aku berkaca dan aku terkejut dengan bajuku yang berlumuran lumpur, aku lang sung membuka semua pakainku lalu membilas dan kumasukan kedalam mesin cuci. Setelah aku mandi dan mencuci semua pakain kotorku, aku membuat kopi untuk menghangatkan tubuhku yang sebenarnya tidak sedang terasa dingin. Aku melihat jam dindingku, ternyata baru jam 5 sore. Hujan sangat deras mengurung desa ini dengan jeruji-jeruji yang terbuat dari tetesan air yang sebenarnya dapat ditembus. Aku menyalakan televisi tetapi aku tidak menemukan siaran yang berfungsi, semuanya hanya frekuensi yang rusak dan dipenuhi semut-semut abu-abu yang bersuara “Zzzzt...” sangat membosankan, aku hanya duduk terdiam disofa usang didepan televisi yang tidak mengeluarkan siaran. Hujan tidak berhenti juga hingga jam 9 malam, dan ayahku masih belum mengetuk pintu, berarti dia belum pulang juga, mungkin pertandingan sepak bolanya belum selesai. Aku pun tertidur pulas disofa dengan balutan parka hitam ditubuhku, menyelimuti seperti pelukan Ibu, meskipun hanya ke’semu’an belaka.


“Trheisya... bertahanlah.” Beberapa orang yang tidak kukenal mengatakannya ada seorang gadis tergeletak merintih kesakitan, dikakinya ada bekas luka gigitan kecil “Tolooong...” seorang gadis yang satunya berteriak keras menembus pepohonan, tetapi hanya kesunyian yang menjawabnya. Aku seperti mengenal salah satu dari mereka, dia membelakangiku berjongkok menghadap sigadis yang terkulai kesakitan, berteriak, merintih kesakitan. Tiba-tiba sigadis itu mulai melemah, nafasnya mulai terasa berat, matanya terlihat sayu tanpa tenaga. Tiga temannya terus berteriak “Trheisyaaa... bertahanlaaah.” Seseorang yang membelakangiku tiba menyembar luka sigadis yang ada dikaki kanannya, sepertinya dia sedang menghisap racun yang ada dalam luka itu. Entah mengapa aku mulai panik saat sigadis itu semakin melemah “Hey... ada apa dengannya?.” Mereka tidak menggubris pertanyaanku sama sekali. Aku baru sadar berada jauh dari mereka, sekitar 20 meter kurang lebih. Mereka mulai menangis dan gadis yang terkulai itu benar-benar tidak bergerak sama sekali, sepertinya gadis itu telah meregang nyawa, gadis itu tidak bernafas lagi, gadis itu pergi kealam yang berbeda dariku. Aku berlari menghampirinya, tetapi entah mengapa ada berkubik-kubik air didepanku menerpa diriku sangat kuat, seperti tsunami yang menghantam membawaku pergi kealam sadarku.



Aku terbangun dan sadar air hujan menetes deras. aku sedang berada diruang televisi tapi mengapa air hujan tetap menerpaku, akupun membuka mata dan sadar atap rumahku sudah hilang, badai besar menerpanya, suara angin berteriak sangat kencang merasuki kupingku, aku segera berlari mencari ayah, mungkin dia sedang tidur dikamarnya “Ayaaah... bangunlah! Ada badai besar!.” Aku berteriak keras, tetapi tidak ada yang menjawab, aku memasuki semua kamar dirumahku, meskipun rumah ini tidak besar. Aku berteriak beberapa kali tetapi tidak ada jawaban sama sekali, saat aku kembali keruang televisi angin mulai menerpa lebih kencang, berputar kencang, melahap paksa ruangan depan rumahku hingga hancur dan sisa-sisanya terbawa angin itu. Aku menangis, aku hanya bisa menangis dan berteriak “Ayaaah... Ayah dimana? Tolong aku yah... Tolong aku.” Tidak ada jawaban dari Ayah, hanya suara angin keras yang merong-rong kuat dia genderang telingaku. Ada sebatang kayu sebesar lenganku terlempar kuat kearahku, tetapi aku bisa menghindarinya dengan cepat, tetapi ada yang aneh dengan rusuk kananku, seperti ada yang menancab, aku menoleh kearah rusuk kananku, benar saja, ada kayu sebesar betisku menancab dirusukku aku merasa mati rasa dibagian lukanya, darah sangat deras mengucur dari lukanya, membuatku ketakutan, beberapa detik kemudia aku mencabut kayu itu dari tempatnya menancap, disaat aku mencabutnya tanpa ragu, darah muncrat keluar dari lukaku, kaos berwarna putih yang kukenakan berlumuran darah, tanganku berlumuran darah, aku seperti ingin pingsan, akupun terjatuh, tubuhku terkulai lemas dilantai, darah dari lukaku menyebar dilantai, menggenang mengerikan seperti baru saja ada pembunuhun.


Disaat kesadaranku mulai melayang tak tentu arah, aku merasakan ada pergerakan dilukaku, dirusuk kananku. Pergerakannya lebih kuat dari pada saat rahangku patah kemarin sore. Semua yang tadinya mulai terlihat kabur memburam, mulai terlihat jelas kembali, tubuhku berangsur-angsur segar kembali, aku mencoba bangkit, tetapi kejadiannya sama seperti saat aku dihutan kemarin sore, aku terpental jauh keatas, tubuhku terlontar, berputar-putar tak tentu arah, disaat aku mulai mencoba mengendalikan tubuhku, aku melihat mobil melayang kearahku, terlempar oleh pusaran angin besar yang berada tepat didepanku, mobil sedan yang tidak kuketahui jenisnya itu menabrakku, membuat sebuah energi kejut yang sangat kuat, merusakan beberapa bagian tubuhku. aku terbawa mobil itu lalu menabrak pohon besar, lalu terjatuh ketanah, mobil itu rusak tidak karuan, bentuknya sudah tidak menjadi mobil lagi, aku terjepit dibawah mobil itu, darah mengucur deras dari tubuhku yang sepertinya hancur, mataku seperti tidak mau melihat dunia lagi, pandanganku kabur memburam, hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri.


Aku berada disebua tempat yang lantainya berwarna putih, entah terbua dari ap lantai ini. Tempat ini sangat luas, aku tidak bisa melihat ujungnya, tempat ini sangat luas. Aku mencoba berlari, berlari sekuat dan secepat mungkin, aku bisa merasakan kecepatannya, sangat cepat, benar-benar sangat cepat, tetapi aku tidak bisa menemukan ujungnya. Tiba-tiba ada aku menabrak sebuah pintu yang sangat kuat, pintu itu tidak bergetar sama sekali, padahal kecepatanku benar-benar sangat cepat, aku terlontar kearah samping itu, berputar-putar, hingga akhirnya berhenti, aku terkulai sangat lemah, aku mencoba untuk duduk, disat iyu aku melihat kakiku patah, engkelnya sudah tidak diposisi yang seharusnya, tulang keringnya patah menekuk kearah atas, tulang paha kananku keluar menbus daging dan darah membekas disepanjang jalurku terhempas dari pintu itu, kedua kakiku mati rasa, tetapi sesegara mungkin daging-daging yang telah rusak itu menggelembung-gelembung bergerak memperbaiki dirinya yang rusak, beberapa menit kemudian kakiku sudah sembuh seperti sedia kala, normal tanpa cacat. Aku bangkit dengan mengerahkan sedikit tenaga, aku sedikit terloncat saat berdiri lalu menyeimbangkan tubuhku, aku berjalan menuju pintu itu, mengetuk untuk mencari tahu dari bahan apa pintu ini sehingga begitu kuatnya, kurasa pintu ini terbuat dari baja atau semacamnya. Aku melayangkan satu pukulan kuat dari tangan kananku, pintu itu tidak bergerak samas sekali, aku malah meremukan jari-jariku, ini baru terasa sangat sakit, tidak seperti luka tertancap kayu atau tertimpa mobil tadi, ini lebih terasa sakit, aku tidak berteriak, aku hanya meneganggkan rahangku, menahan sakitnya, sama seperti lukaku yang lain, jari-jariku yang remuk segera sembuh seperti semula, aku berdiam diri memikirkan apa yang sedang terjadi, beberapa menit kemudian setelah aku bergelut dengan pikiranku tentang semua ini, aku mencoba membuka pintu itu, aku memutar genggaman pintu itu yang berbentuk bulat seperti pintu biasa “crreek...” suara dari putaranku. Ternyata pintu ini tidak terkunci, aku membuka pintu itu, tetapi cahaya yang sangat menyilaukan menerpa mataku sehingga aku tidak dapat melihat apa-apa.


Aku membuka mataku dan tersadar aku sedang berada dibawah pohon besar dan tertimpa mobil sedan yang tidak kuketahui merknya ini. “Sebenarnya apa yang terjadi?.” Aku menggumam. Posisiku tertidur, tubuhku tertimpa bangkai mobil, hanya kepala sampai sedkit bagian dadaku dan tangan kananku yang tidak tertimpa, aku menggunakan tangan kananku untuk mengangkat bangkai mobil ini, aku menyilangkan tanganku kesebelah kiri lalu merogoh bagian bawahnya, dengan sekuat tenaga aku melontarkan mobil itu kearah kananku, mobil itu terlempar jauh kearah pepohonan lalu menabrak satu pohon yang lumayann besar tetapi pohon itu sudah mati, tak ada daun yang menyangkut didahan-dahannya, pohon itu tumbang kearahku, aku segera bangkit, tetapi tidak bisa, aku sadar tubuhku masih sedikit hancur “Aaah Shit!.” Ada batang yang cukup besar menusuk tepat diperutku, darahpun mengalir kembali. Aku tidak merasakan sakit, bahkan aku tidak mengeluarkan reaksi, tidak ada rasa sakit dari luka besar tetapi jika jari-jarimu terjepit pintu kau akan berteriak sekeras mungkin.


Tubuhku mulai bergerak-gerak, dagingnya seperti mengeluarkan benjulan-bejolan yang bergerak-gerak, menyembuhkan bagian-bagian yang terluka, membenarkan bagian-bagian tulang yang tidak beraraturan, dan beberapa menit kemudia aku sembuh, tetapi dahan dari pohon itu tetap menancap kedalam perutku, aku mengengkat pohon itu dengan kedua tanganku, dahan itu mulai keluar dari perutku, darah mulai mengalir lagi, aku mengerahkan tenagaku untuk melempar pohon itu, pohon itupun terlempar keatas, jelas dia akan tertarik grafitasi menuju kebawah lagi “Tidak lagi.” Dengan cepat aku bangkit, aku sudah bisa bangkit tanpa melontarkan tubuhku saat pohon itu sudah hampir menimpaku, aku dapat menghindarinya dengan mudah.


Aku melihat-lihat sekelilingku, jalanan beberapa meter disampingku, rumah-rumah porak poranda oleh badai semalam, tidak ada satu orangpun ada disini, aku benar-benar belum melihat sesosok manusiapun, hanya alam dan benda-benda mati yang sudah porak poranda, beberapa pohon yang tumbang dan menghalangi jalan. Tempat ini benar-benar sudah kacau balau, mobil-mobil terdiam takbergerak dijalan dan beberapa sudah hangus terbakar, aku berjalan perlahan menuju rumahku, aku melihat seekor anjing yang tergeletak tak bernyawa didepan rumah tetanggaku, nama anjing itu Mila, anjing jenis Golden red river. Sepertinya dia tidak terluka sama sekali, aku mendekatinya, karena ada sebatang pohon tumbang menghalangi pandanganku, ternya sebatang besi seukuran besi pagar menancap diperutnya, darahnya mengering diaspal, aku langsung memalingkan wajahku karena aku tak sanggup melihatnya, aku memiliki phobia akan hewan yang sudah mati, aku tidak tahu apa nama phobianya, bulu kudukku bergidig, merinding melihat mayat Mila, aku benar-benar tidak sanggup sehingga aku berlari cepat menuju rumahku. “Rumahku...” aku termenung melihat rumahku yang sudah porak poranda, hanya beberapa bagian yang masih pada tempatnya. Tempatku berteduh bersama Ayah, tempatku bercanda dengan Ayah, tempatku tertawa, tempatku bersedih, tempatku merasa bosan, tempatku tidur, tempatku melepas lelah, dan semua hal yang akan selalu berteriak dihatiku sudah hancur. Aku meneteskan air mata, terdiam menatap Rumahku yang telah hancur, beberapa menit berlalu dengan tangisku dan kehancuranku “Ayah... apa Ayah ada didalam?.” Aku bergumam dan suaraku terpatah.


Aku berlari menuju kamar Ayah, seharusnya ini kamar, bukan bangunan yang hancur, bukan ruangan yang berantakan, kamar Ayah selalu rapih, tetapi sudah tidak lagi, karena badai yang menerpa desa ini semalam sudah memporak porandakan Rumah kami. Hanya beberapa barang yang tersisa, itupun sudah tidak pada tempatnya. Aku memasuki kamar Ayahku tetapi sebenarnya aku tidak benar-benar memasuki ruangan, karena ini sudah tidak menjadi ruangan, foto-fot yang ada dikamar ayah berjatuhan dilantai, kaca-kacanya melukai kakiku, merobek kulit telapak kakiku, tetapi aku tidak menghiraukannya, aku menangis bukan karena serpihan kaca yang tajam itu melukai kakiku, tetapi karena badai yang menghancurkan Rumahku dan sekaligus menghancurkan hatiku. Seharusnya dilantai ini ada karpet besar bergambar kontemporer yang tidak bisa kumengerti gambarnya, mungkin karpet itu sudah terbang terbawa badai semalam. 


Aku melihat ada sebuah pintu dilantai, seperti pintu ruangan bawah tanah. Tetapi pintu itu tidak memiliki pegangan untuk membukanya, hanya ada dua lubang seukuran ibu jari. Aku berjongkok didepan pintu itu lalu memasukan jari telunjuk dan ibu jariku kelubang itu lalu aku membukanya. Ada sebuah tangga yang menuju kedalam ruangan itu, akupun mulai menyusuri tangga itu, aku terkejut dengan apa yang ada diruangan ini, dindingnya dihiasi dengan batu-batu berwarna putih yang mengeluarkan sinar, seperti lampu, ruangan ini sangat terang, ruangan ini cukup besar, banyak barang-barang yang tidak kukenal tergeletak dimeja besar ditengah ruangan ini, ada lima bangku yang tersusun rapih disamping meja itu. Beberapa foto terpajang didinding, yang membuatku terkejut adalah foto yang cukup besar dengan frame berwarna hitam, difoto itu Ayahku sedang memeluk Ibuku dari belakang dan ibuku sedang memegang kepala sesok bocah yang berdiri didepan Ibuku, bocah itu... “Bocah kecil itu... Aku?.” Bocah itu sangat mirip denganku, tidak, dia Aku, dia benar-benar Aku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Populer Post