Alphaterrania (Kenyataan #1)





Alphaterrania
Kenyataan

Aku terbangun dari mimpi indahku, dimimpi itu, aku berada dihutan yang sangat indah, hutan yang memiliki bunga-bunga berwarna-warni, serangga yang beraneka ragam jenisnya, bahkan seekor serigala putih yang sangat jinak, yang dapat kuelus wajahnya, serigal putih itu bisa berbicara, tetapi disaat dia berbicara mulutnya tetap tertutup, aku masih ingat perkataannya “kembalilah, kita akan menjadi teman yang hebat” dan akupun terbangun.

            Hari ini sekolahku terasa biasa saja, seperti hari-hari yang lalu. Sekolah SMA ini berusia 2 tahun dan aku berada dikelas 11 A. angkatanku hanya memiliki dua kelas, 11 A dan 11 B, wajar saja, karena sekolah ini berada didesa terpencil dan masih terselimuti hutan tropis yang lebat. Kenyataannya aku tinggal didesa terpencil.

            Sepulang sekolah, aku teringat mimpiku semalam, mungkinkah aku akan kembali kehutan indah itu? Hatiku bertanya-tanya tak berhenti. Sesampainya dirumah, ternyata ada teman Ayahku yang sedang berkunjung. Aku merasa tidak asing dengan teman Ayahku ini. Saat kuperhatikan wajahnya dia melihat kearahku lalu menyapaku “Alpha, bagaimana sekolahmu?.” Apa? Dia tahu namaku. “Masih ingat tidak dengan om?.” lanjutnya. “bagaimana dia bisa ingat, dia berumur dua tahun saat itu. Alpha ini paman Féthra, kita tinggal bersama dia saat umurmu dua tahun.” Ayahku menjawab pertanyaan yang seharusnya untukku. Mulailah obrolan para lelaki dimeja makan yang hanya tersaji kacang goreng dan tiga gelas kopi untuk kami
.
            Waktu menunjukan jam 9 malam. paman Féthrapun beranjak dari rumah kami, setelah banyak cerita yang aku dengarkan darinya, dia bercerita tentang masa kecilnya dengan Ayahku. “Alpha. Nama yang sangat pas untukmu, tumbuhlah menjadi peria yang kuat, kau akan menopang beban yang berat.” Nasihatnya merasuk kedalam hatiku. “Semua peria akan menopang beban yang berat, aku akan tumbuh seperti Ayahku yang merawatku seorang diri” sambil tersenyum aku menjawab. Ya memang Ayahku merawatku seorang diri, tanpa seorang Ibu aku tumbuh, tapi Ayah selalu menjadi orang tua yang hebat. paman Féthrapun beranjak pergi dari rumahku.
            “Aku merasa tidak asing dengan paman Féthra” kataku. “Berarti ingatanmu bagus.” ayahku hanya menjawab seperti itu. kami pun beranjak kekamar masing-masing. Aku merebahkan tubuhku yang sudah terasa berat ini, melihat sekeliling kamarku yang sedikit berantakan, beberapa foto Aku dan Ayahku terpajang didinding, kamarku yang berukuran 3 x 5 meter ini terasa luas karena barang-barang’ku yang sedikit. Akupun tertidur.

            Aku merasa panas seperti ada kobaran api yang berkobar disampingku, akupun tersadar, hutannya, hutan indah ini terbakar, bunga-bunga indah berubah menjadi hitam, hewan-hewan berlarian, beberapa teriakan terdengar. Apa yang terjadi? Siapa yang tega membumi hanguskan ke’indahan ini? Aku bertanya dalam hatiku. Serigala putih yang ada dalam mimpiku sebelumnya menghampiriku, nafasnya terengah-engah, jalannya terpincang-pincang, sebatang anak panah merobek daging dan menancap dikaki kanannya “Kami membutuhkanmu, kami tidak bisa menghadapi ini jika kau tidak menempuh jalanmu.” serigala itu berbicara sambil terengah-engah. “Apa yang harus kulakukan?.” Aku bertanya dengan panik. Serigala putih itupun rebah, terjatuh ketanah dengan abu-abu hitam, aku memegang dadanya, jantungnya berdetang tidak stabil, perlahan nafasnya mengendur, matanya kosong, dalam hitungan beberapa detik detak jantungnya perlahan menghilang. Aku panik, berteriak meminta tolong, tetapi tidak ada yang menggubris, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
            Akupun terbangun, nafasku terengah-engah, jantungku berdetak kuat dan cepat, keringat mengucur dari keningku. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diriku, seraya kuhembuskan keluar nafasku, akupun mulai tenang dan stabil. Waktu menunjukan jam 6 pagi. Aku beranjak dari tempat tidurku lalu memasuki kamar mandi, aku termenung didalam kamar mandiku. Akupun bersiap untuk berangkat sekolah. “Ayah aku berangkat.’ Aku berkata. “Hati-hati, tengah malam tadi hujan, mungkin jalan akan licin.”pasti Yah, aku akan berhati-hati.”.
            Sekolah, tugas, nilai dan guru-guru killer, aku sedikit bosan dengan ini semua. Temanku yang bernama Syaina menyapaku “Hay, bagaimana tugasmu?.” Apa tidak ada hal lain selain tugas. “Seperti biasa.” Aku menjawabnya dengan malas. “Kau ingin menyalin tugasku?” sambil menjulurkan buku Bahasa Belanda. “Lebih baik berdiri dilapangan sambil menghormati bendera dari pada harus belajar bahasa musuh.” Aku menjawabnya dengan santai. Bel berbunyi, guru Bahasa Belanda masuk, memperkenalkan murid baru, menanyakan tugas, menyuruhku keluar dan berdiri dilapangan sambil hormat kepada bendera Merah Putih. tunggu, murid baru itu bernama Trheisya, dia sangat cantik, membuatku mengalihkan perhatian dari dunia kesendirianku, memberikan energi kedalam jantungku sehingga berdetak sangat kencang, dan yang membuatku bahagia, dia duduk disampingku.
            Pelajaran Bahasa Belanda selesai, ini bukan Moving Class tapi Moving Teacher. Bu Vina guru segala bahasa itu menyuruhku masuk “Masuklah! Bahasa Belanda sudah selesai, ini memang bahasa musuh kita, tapi ini ada gunanya juga disuatu saat nanti.” Bu Vina menyeramahiku. “baiklah bu.” Aku hanya berbohong. Disaat aku masuk kelas Syaina bertanya “apa kamu nggak lelah? Setiap pelajaran Bhs. Belanda kamu selalu begitu.” Dia sok memperhatikanku. “Enggak.” Aku menjawab, lalu duduk ditempatku. Trheisya memberikan senyuman malu kepadaku yang membuatku gemetar, wajahnya yang putih, bermata hitam gelap dalam, hidung yang lancip, bibir tipis merah merona tanpa lipstick, dan rambutnya yang bergelombang berwarna hitam dikuncir sangat membuatku ingin memperhatikannya terus. “hey, apa ada yang salah diwajahku?.” dia sadar aku sedang memperhatikan wajahnya, aku pun tersentak lalu membuka buku, berpura-pura membaca. “maaf, aku hanya ingin mengingat wajahmu.” Sambil tersenyum malu aku menjawab, apa-apaan ini? aku seorang peria yang gugup didepan wanita cantik, aku seorang pecundang, pecundang sekolah terpencil dinegara ini. “hey aku belum tahu namamu.” Sepertinya dia gugup sepertiku. “aku Alpha, Alltaf Upp Alpha.” Aku gugup, sangat gugup. “aku Trheisya Vindurri.” Dia sama gugupnya denganku. Aku berfikir suatu lelucon untuk mencairkan kegugupan ini, ayolah berfikir otak “sepertinya nama kita sama-sama aneh.” Bodoh! Itu lelucon atau menghina? Terlanjur kukatakan, tetapi Trheisya tertawa kecil, akupun tertawa karena tawanya sangat menyenangkan, akhirnya suasana guguppun luntur seraya beberapa guyonan yang kami lontarkan. Tak terasa bel akhir jam berbunyi, kami pun bersiap untuk pulang. “kamu kearah mana?.” Trheisya bertanya sambil tersenyum dan senyuman itu sangat manis, membuat perasaan ini seperti disiram oleh air es saat udara terasa panas. “kanan dari gerbang sekolah.” Aku balas senyumannya dengan baik, kuharap. “berarti searah denganku.” Aku bersumpah jika ada senyuman yang lebih indah dari wanita ini aku akan menendang bokongku sendiri. “baiklah, kita satu sekolah sekarang, satu arah pulang, mungkin akan satu hati.” Sedikit lelucon dan harapan kujadikan satu. Dia tertawa kecil dan bertanya “sudah siap?.” Tanyanya. “sudah, sepertinya matahari akan segera tenggelam.” Aku berkata “apa kau akan dapat ocehan dari orang tuamu?” lanjutku. “tidak, mereka tahu sekolah ini memiliki segudang kegiatan.” Jawabnya
            Kami pun berjalan berdua, berbincang, berguyon, tertawa dan saling melirik-lirik. Senang rasanya bisa bertemu dengan dia, aku bersyukur, tuhan telah mengirimkan malaikat cantik ini untuk menambahkan nada dalam hidupku yang hanya memiliki note fals ini, dan sekarang telah menjadi Symphony yang sangat merdu, harmoni berjalan selaras dengan tempo searah.
Kami berdua terkejut oleh secercah cahaya yang bersinar dari pepohonan. “Alpha apa itu?” Trheisya ketakutan, dia menggenggam kuat tanganku, kami bergandeng tangan berjalan menuju cahaya yang berwarna-warni yang selalu berubah corak warnanya itu, aku berdiri tepat didepan cahaya itu dengan Trheisya yang menggenggam tanganku sangat kuat, wajahnya menyiratkan ketakutannya “tenangkan dirimu, ini hanya fenomena alam.” Aku menenangkannya. “tapi aku takut.” Jawabnya. Tiba-tiba cahaya yang tadinya bercorak warna yang tak beraturan kini berubah menjadi sebuah Visual yang jelas, itu sebuah hutan, hutan yang kulihat dimimpiku, tidak ini buka hanya sebuah Visual, ini sebuah gerbang, gerbang menuju hutan yang sangat indah, hutan yang kemarin terbakar dimimpiku ternyata benar-benar ada, benar-benar nyata terbuka lebar didepanku. Trhesya melepas genggamannya dan mengangkat kakinya menuju Gerbang itu, Gerbang cahaya seperti hologram itu, dia menuju hutan yang ada dalam mimpiku, akupun mengikutinya dari belakang. Hutan yang indah ini adalah Kenyataan.






0 komentar:

Posting Komentar

 

Populer Post