Alphaterrania (Kenyataan #2)





Ąlphaterrania
Kenyataan

Kami memasuki alam yang tidak kami kenal, alam yang tadinya hanya ada dalam sebuah mimpi, alam yang memiliki tumbuh-tumbuhan yang aneh, berwarna-warni, bunga yang sangat cantik, serangga yang tidak mengganggu, bahkan menyenangkan sekali saat serangga itu mendarat dikepalaku, aku tidak mengenali jenis serangga ini, serangga sejenis kunang-kunang tetapi berukuran sebesar ibu jari, berwarna biru dibagian dada dan ungu dibagian perutnya, serangga ini terasa sangat hangat. nyaman sekali, hutan ini terasa sangat nyaman seperti rumahku, bahkan lebih nyaman.

“Trheisya mungkin gerbangnya tidak terbuka lama, sebaiknya kita kembali.” Aku mengajaknya kembali
“Tidak, sebaiknya kita disini sementara waktu, aku ingin melihat matahari terbenam. Mungkin akan sangat indah. Apa kau takut?.” Trheisya menatap kearhaku dengan hangat, wajahnya sangat menyenangkan untuk diperhatikan.
“Aku hanya takut gerbangnya tertutup.” Sepertinya aku mengeluarkan kesan kekhawatiran diwajahku saat mengatakan itu.
“Sebentar saja, aku merasa sangat nyaman disini. Apa kau tidak merasakannya juga?.” Dia benar-benar membuatku jatuh cinta, kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat indah, seperti sebuah lagu.
“Baiklah, kita sebentar saja disini. hanya untuk sunset.” Dia berhasil merayuku dengan wajah dan suaranya.
“Berjanjilah kau takan meninggalkanku sendiri disini.” Trheisya memintaku dengan wajah yang sangat menarik.
“Kau bercanda? Aku takan pernah meninggalkanmu.” Aku berkata jujur.
“Apa itu rayuan? Apa kau sedang merayuku?.” Dengan sedikit tertawa dia mengatakannya.
“Mungkin.” Aku mengeluarkan senyuman sekeren mungkin, tapi apalah diriku ini?, aku bukan pria yang pandai dengan hal semacam ini.

Kami berjalan untuk mencari tempat yang bagus untuk melihat sunset. Ada sebatang pohon besar yang sepertinya sudah lama tumbang, sebatang pohon tumbang itu ditumbuhi semacam jamur-jamuran dengan warna yang sangat beragam dan bentuk yang beragam pula. Kami berdua duduk dipohon tumbang itu, berdampingan, cukup dekat sehingga aku dapat menghirup wangi tubuhnya, wanginya sangat nikmat, terasa manis.
“Hey, mataharinya mulai tenggelam.” Trheisya sangat riang mengatakannya, dengan matanya yang berbinar.
Entah mengapa aku merasakan ada sebuah perubahan dimatanya, beberapa menit yang lalu matanya masih berwarna hitam dan sangat dalam, tetapi sekarang matanya sedikit bersinar dan sinarnya itu terkesan mengeluarkan warna biru. aku benar-benar memperhatikan matanya sehingga aku tidak menggubris perkataannya tadi.
“Hey, ada apa? Apa ada yang aneh dengan wajahku?.” Trheisya sadar aku sedang memperhatikannya.
“Tidak, hanya saja seperti ada yang berubah dimatamu.” Aku mengalihkan perhatianku kematahari yang sedang ingin mengumpat kedalam bumi yang ini, dan akupun tersentak saat sadar betapa indahnya matahari tenggelam disini “Mataharinya...” perhatianku benar-benar tertarik oleh matahari tenggelam itu. Langitnya berwarna jingga yang berpusat dari matahari, membuat sebuah warna radial yang berubah menjadi biru muda lalu berubah menjadi biru gelap.
Matahri sudah setengah tenggelam dalam garis horizontal alam ini, yang entah harus kami sebut apa semua ini. 

Ada seekor burung yang hinggap dipohon disebelah kanan kami, burung itu seperti burung hantu, tetapi memiliki wajah seperti kucing Siberian, burung tanpa paruh? Apa-apaan alam ini, sangat aneh, burung itu memperhatikan kami berdua, dan kamipun sama dengannya, memperhatikan burung itu, burung hantu dengan wajah kucing siberian dan berwarna abu-abu dengan pola hitam yang mirip dengan anjing siberian, matanya berwarna biru berkilau dan tubuhnya yang gempal. Sepertinya burung itu tidak memperhatikan kami berdua, dia hanya melihat kearah Trheisya.
“Trheisya apa kau baik-baik saja?.” Aku memperhatikannya yang sedang memandang dalam-dalam burung aneh itu, tetapi aku tidak dapat melihat matanya
“Burung itu sangat menggemaskan. aku menyukainya, sangat.” Trheisya tetap memandangi burung itu.
“Kita belum tahu apakah dia berbahaya atau tidak. Hey, mataharinya hampir hilang, tetapi langit tidak gelap, aneh sekali tetapi sangat indah, bintang-bintangnya juga sangat banyak.” Aku mengungkapkan apa yang aku lihat.
“Lihatlah langit dibelakangmu! Kau belum memperhatikan semua.” Trheisya masih tetap memperhatikan burung aneh itu, sepertinya dia sangat tertarik dengan burung aneh itu.
Akupun memutar 180º dan aku tidak dapat percaya dengan mataku sendiri karena melihat keindahan yang nyata didepanku. Bulannya berwarna biru cerah yang terkesan lembut, bintangnya sangat banyak, berwarna warni bintang-bintang itu ada beberapa yang bergerak entah apa itu Alien atau bintang atau semacamnya, yang aku pikirkan hanya betapa indahnya alam ini. Disebelah selatanku ada bintang-bintang yang berkumpul membentuk pola seperti bibir yang ditangahnya lebih banyak dan lebih mengembung (galaxy milky way) sangat indah dengan sebagian besar bintang-bintang itu berwarna ungu, dan ada sekumpulan bintang kecil yang berwarna seperti emas atau kuning terang. Didekat itu ada sebuah planet yang sangat dekat dengan planet ini, planetnya berwarna abu-abu gelap, aku dapat melihat konturnya yang sangat tidak halus, berlubang seperti bulan, namun lebih tidak beraturan, mungkin planet itu sering menjadi landasan komet jatuh.
“Jangan hanya melihat keatas, lihatlah tumbuh-tumbuhan itu dan serangga-serangganya!.” Trheisya tetap memperhatikan burung itu, sudah beberapa menit berlalu, dia masih saja memperhatikannya, burung aneh itu tetap disitu tidak bergerak sama sekali.

Aku mengalihkan pandanganku dari langit. Kenapa ada banyak lampu dihutan seperti ini? Tidak, aku baru sadar itu bukan lampu, itu beberapa tanaman yang dapat mengeluarkan cahaya, mungkin ada beberapa tumbuhan yang mengandung bakteri yang dapat mengeluarkan cahaya. Ada satu tanaman yang sangat menyedot perhatianku. Tanaman itu seperti bunga bangkai dibawahnya yang berwarna ungu, tetapi tidak mengeluarkan bau dan ada batang yang keluar dari tengah bunga itu yang berwarna putih yang melengkung karena ada buah yang cukup besar yang keluar dari batang itu, buah itu seperti kembang yang baru saja mekar, ada mahkota bunga disekeliling buah itu yang menyatu dengan sendi antara buah dan batangnya, mahkota bunga itu berwarna ungu dan yang paling membuat indah adalah buah itu memancarkan cahaya berwarna hijau stabilo dan mahkota bunga disekelilingnya memantulkan cahaya berwarna ungu. Aku melihat serangga yang tadi sempat hinggap dikepalaku, sudah kuduga itu semacam kunang-kunang, perut ungunya memancarkan cahaya yang berwarna ungu pula.

Aku benar-benar terkejut dengan semua hal-hal ini, ini membuatku merasa seperti aku sedang bermimpi, aku menampar wajahku sendiri, dan terasa sakit, aku sadar ini bukan mimpi, Trheisya  menoleh kearahku.

“Hey apa yang kau lakukan?.” Wajahnya seperti merasakan apa yang aku rasakan, maksudku rasa sakit akan tamparanku sendiri. Tetapi bukan itu yang paling aku perhatikan, aku terkejut, mulutku menganga lebar, aku tidak tahu ini rasa takut, khawatir atau rasa suka terhadap suatu keindahan, Mata Trheisya  berwarna biru, seperti bulan diatas kami, seperti mata burung aneh itu.
“Trheisya matamu.” Aku hanya dapat mengatakan itu, mulutku seperti tidak tersambung dengan otakku
“Ada apa dengan mataku?.” Dia memandang aneh kewajahku, tetapi dia mengambil kaca kotak kecil dari tasnya lalu menghadapkan kaca itu tepat didepan matanya, Trheisya pun terkejut akan apa yang terjadi dimatanya. “Mengapa pupil mataku berubah warana?.” Sepertinya dia berbicara pada dirinya sendiri.
“Apa burung itu yang melakukannya? Apa pikiranmu tidak hilang? Apa kau terhipnotis oleh burung itu? Trheisya apa kau baik-baik saja?.” Sepertinya aku bertanya terlalu cepat
“Aku tidak merasakan ada hal yang aneh, aku baik-baik saja. Tenanglah mungkin ini hanya pengaruh dari alam ini.” Trheisya mencoba menenangkanku.
“Apa hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya?.” Aku terlalu mengkhawatirkan keadaan Trheisya, aku takut dia memiliki suatu penyakit dengan matanya.
“Aku pernah mengalami kejadian ini saat umurku dua tahun.” Sepertinya dia tidak terlalu panik dengan keadaan matanya.
“Apa kau tahu pemicu terjadinya ini? Maksudku, mengapa bisa terjadi?.” Kepanikanku mulai mereda karena melihatnya yang bersikap biasa-biasa saja.
“Aku tidak tahu, tetapi dulu saat mataku berubah seperti sekarang, aku bermimpi aneh, aku sudah lupa bagaimana mimpi itu, saat aku terbangun dari mimpiku, lalu aku berkaca, saat itulah aku sadar warna pupil mataku berwarna biru, tetapi tidak sebiru ini, ini jauh lebih biru.” Sepertinya dia benar-benar tidak panik.
“Mungkin mimpimu ada hubungannya dengan semua ini. Sebenarnya aku sudah pernah memimpikan hutan ini, dua kali.” Wajahnya sangat cantik, dengan mata itu, karenanya aku gugup saat berbicara.
“Benarkah? ceritakan mimpi itu!.” Dia menyuruhku dengan wajah yang terkesan merayu, dan aku tak dapat menolaknya.
“Baiklah, mimpi yang pertama, seingatku, aku sudah berada disini aku sedang menikmati pemandangan disini, dan ada seekor srigala putih yang menghampiriku, srigala itu sangat jinak,  dia bisa berbicara, tetapi mulutnya tetap tertutup, aku ingat dia berkata 'kembalilah! Kita akan menjadi teman yang hebat' lalu aku terbangun. Mimpiku yang kedua, aku berada disini lagi tetapi hutan itu terbakar hangus, semua pepohonan dan bunga-bunganya terbakar, dan srigala itu datang kembali dengan anak panah yang menancap dikakinya dan srigala itu berkata ‘Kami membutuhkanmu, kami tidak bisa menghadapi ini jika kau tidak menempuh jalanmu.’ Lalu dia jatuh dan tak bernafas lagi, akupun terbangun dan merasa sangat tidak baik dengan mimpi itu” Trheisya sangat memperhatikan setiap perkataanku.
“aku tidak suka dengan mimpi yang kedua, itu sangat buruk.” Threisya termenung lalu dia memperhatikan sesuatu yang berada dibawah pohon besar “Hey apa itu?.” Dia menunjuk sebuah batu kotak yang berlumut. Batu itu cukup besar untuk luput dari perhatian kami
“Ayo kita lihat, setelah itu kita kembali kedunia kita. Kita sudah cukup lama disini.” karena matanya yang sangat indah membuat bicaraku sedikit terpatah.
Kami berdua beranjak dari sepotong kayu besar ini menuju batu yang tidak jauh, dan searah dengan lubang hologram tempat kami masuk. Trheisya menyentuh batu itu dengan jari-jari lentiknya. Ada ukiran yang tidak cukup jelas karena tertutupi oleh lumut berwarna hijau yang bentuknya cukup aneh. Trheisya membersihkan batu itu dan aku pun ikut membantu, ukirannya mulai terlihat jelas, kami pun mengambil posisi untuk melihat gambar apa yang terukir dibatu ini. Ukirannya menggambarkan sebuah cerita, gambarnya terbagi menjadi empat bagian, bagian pertama gambar seorang lelaki yang memakai kemeja yang tidak jelas dan bercelana panjang, yang menghadap depan, dan gambar kedua seorang wanita dengan gaun, berambut sama dengan Trheisya, gambar ketiga mereka sedang bergandeng tangan menghadap kanan dan ada sebuah lubang hologram yang sama dengan lubang yang kami masuki kealam ini, gambar keempat sama dengang gambar ketiga tetapi kali ini mereka menghadap kiri. 
“Apakah mereka adalah kita?.” Trheisya tersadar akan kesamaan gambar itu dengan apa yang kami alami.
“Mungkin, sebaiknya kita pulang.” Aku masih saja merasa tidak terbiasa dengan mata Trheisya yang sangat indah.
“Baiklah.” Theisya megiyakan perkataanku.
Kami berjalan menuju tempat kami pertama kali berada. Saat kami sampai, aku terkejut saat melihat tempat kami yang tadinya ada lubang hologram, sekarang sudah menghilang. “Hey dimana lubang itu?.” Aku bertanya, aku sangat panik.
Threisya tidak berbicara apa-apa dia hanya mendekatiku lalu merangkul tanganku, aku tatap matanya, jantungku berdetak kuat dan kencang, sementara Threisya hanya tersenyum. Lubang hologram itu muncul beberapa detik kemudian, kemunculannya sama seperti saat pertama kali, tetapi lubang ini seperti menyiratkan cahaya berwarna biru.
Kami memasuki lubang itu, keluar dari alam yang tidak kami kenal itu. Sepertinya hari tidak terlalu malam, langit masih disinari sedikit cahaya matahari. “Baiklah kita pulang.” Aku mengajaknya sambil berusaha tersenyum.
Threisya tersenyum dan melepaskan rangkulannya yang membuatku kecawa sekaligus lega. Tunggu matanya kembali seperti semula, matanya berwarna hitam dan terkesan dalam, seperti pertama kali aku bertemu dengannya tadi pagi. “Threisya matamu kembali seperti semula.” Sepertinya wajahku menyiratkan kebingungan.
“Benarkah?.” Dia tidak mengambil kaca dari tasnya, dia seperti percaya sepenuhnya dengan kata-kataku, dia hanya tersenyum, senyum yang sangat indah.




Kami pulang kerumah masing-masing. Sesampainya di rumah, aku terlelap sangat dalam ditidurku, ayah hanya tersenyum kepadaku saat aku melewati ruang tamu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Populer Post